Cerpen Kisah Nyata Ke mana Kutentukan Jalan Hidupku

Sebuah cerpen yang diambil dari kisah nyata. Ditulis oleh Mar’s Hayrusd.


Ke mana Kutentukan Jalan Hidupku
oleh: Mars Hayrusd

Entah dari mana harus kumulai kisah perjalanan hidupku ini.

Saat ini aku bingung menentukan dua pilihan yang sama beratnya. Apa harus mengikuti kata hati, sementara harus kukorbankan keluargaku, atau mempertahankan keutuhan rumah tanggaku sementara hatiku tercabik.

Sebut saja namaku Dinda, aku lahir di kota Ujung Timur pulau Jawa.

Aku seorang ibu yang sudah terbilang tidak muda lagi, sekarang umurku 28 tahun, dikaruniai dua putri cantik-cantik, Cita yang berusia 10 tahun dan Nindya 4 tahun.

Aku terlahir dari keluarga yang fanatik pada agama, ayah dan ibu mendidikku sedemikian ketat pada pendidikan agama agar aku kelak dewasa menjadi harapan keluarga. Sejak pendidikan dasar dan menengah aku disekolahkan yang mayoritas berbasis agama, bahkan pernah masuk pesantren walau hanya sebentar, dengan harapan ilmu agama yang kumiliki bisa membimbing jalan hidupku nanti.

Aku sulung dari tiga bersaudara yang kebetulan cewek semua, otomatis akulah yang menjadi panutan kedua adikku. Sejak SMP aku sudah mengenal seorang pemuda Arman namanya , saat itu usiaku baru belasan tahun. Pada dasarnya hubunganku dengan Arman bukan karena asmara, waktu itu aku belum mengerti urusan cinta. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, aku hanya menginginkan figur seorang kakak laki – laki sebagi pelindungku dan tempat tukar fikiran itu saja.

Seiring berjalannya waktu, usiaku tambah dewasa, hubunganku dengan Arman tidak hanya sebatas kakak dan adik, tetapi sudah beralih ke hubungan yang lebih special lagi, yaitu dua remaja yang saling jatuh cinta.

Dua tahun sudah aku menjalin cinta dengannya, saat cinta sedang bersemi, Arman meninggalkanku melanjutkan sekolah di luar kota. Walaupun dia di tempat berbeda yang jauh meninggalkanku, hubunganku dengannya tidak putus, tetap berlanjut meski hanya lewat surat dan telphon saja.

Suatu saat datang seorang laki-laki Romy namanya, menjenguk tetangga sebelah rumahku yang sedang sakit, Sigit aku memanggilnya. Romy seorang pemilik agen koran serta majalah mingguan lainnya, sedangkan Sigit sebagai lopernya. Dan inilah awal dari segala bencana yang mengharu biru hatiku, membuat impianku bersama Arman hancur seketika.

Tanpa sepengetahuanku, Romy melihatku waktu aku melintas di jalan depan rumah. Dia langsung tertarik padaku dan tanya ke Sigit apa aku sudah punya pacar belum. Entah jawaban apa yang disampaikan Sigit pada Romy.

Selang beberapa hari tanpa basa basi Romy menemui orang tuaku, memintaku untuk diperistri. Sebenarnya ibuku belum mengijinkan, karena usiaku baru belasan tahun, terlalu muda untuk membina rumah tangga, dan sekolahku pun belum final. Berbeda dengan aku yang langsung mengiyakan permintaannya. Tanpa pikir panjang, tanpa perenungan, tanpa pertimbangan, saat itu aku mati rasa tak ada daya untuk menolaknya, padahal aku sudah punya Arman tempatku mencurahkan segala kegelisahan hati, walau hanya sekedar lewat surat atau telphon saja.
“ Hidup berumah tangga tidak sesederhana ini nduk.’’ ibuku menasehati aku.
’’Banyak masalah yang harus kamu hadapi, yang tak terbayang sebelumnya di usia remajamu ini .” lanjut ibu .
‘’ Tidak bu, saya sudah mantap dengan Mas Romy, walau apa yang terjadi saya siap terima resikonya.’’jawabku meyakinkan ibu.
Dengan jawabanku yang spontan meluncur dari bibir, apa mau dikata ibu akhirnya setuju dengan permintaan Romy itu.

Aku baru tersadar setelah Romy melamarku, aku telah memberi keputusan yang salah, aku memenuhi permintaan laki-laki yang tak kukenal sebelumnya. Hatiku mulai guncang pada saat situasi seperti ini. Dengan perbedaan usia yang cukup jauh haruskah aku terima lamarannya dan menikah dengannya? Tapi pantangan bagiku menjilat ludah kembali, aku harus menerima lamarannya dengan perasaan getir, konsekwensi dari hasil keputusanku yang salah.

Sementara pada saat-saat sulit ini Arman yang aku harap bisa membantu memecahkan masalahku susah aku hubungi, surat-surat yang aku kirim tak pernah terbalas, nomor telphon yang aku miliki sulit untuk dihubungi, memang waktu itu HP belum menjamur seperti sekarang, hanya orang-orang tertentu yang bisa memiliki HP, aku berkomunikasi dengan telphon kabel saja melalui wartel, dan ternyata nomer yang biasa mudah aku hubungi sekarang sudah terputus jaringannya. Aku benar-benar kehilangan kontak dengannya, entah apa yang terjadi dengan Arman saat itu, aku tak mengerti.

Pada tahun 1998 akhirnya aku menikah juga dengan Romy, dengan perbedaan usia yang terpaut jauh, aku usia 15 tahun sedang Romy 26 tahun. Tiga tahun kemudian saat aku harus berjuang mengandung dan melahirkan Cita, ternyata Romy punya wanita selingkuhan. Hatiku hancur begitu tahu dia punya wil, sungguh tega dia menghianatiku, saat aku mengemban amanat berat sebagai seorang ibu.

“ Hanya untuk inikah kau peristri aku Mas ?’’ ratapku di depan Romy
“ Jangan percaya omongan orang, kalau tak ada bukti, dan mana mungkin aku tega menyakitimu.” sergah Romy mengelak tuduhanku.
“Sudahlah mas ngaku saja, tidak hanya satu dua orang yang melihat mas jalan dengan wanita lain.” jawabku sengit .” Apa perlu saksi untuk mengungkap perselingkuhanmu? Sakit mas, hatiku sakit, saat kehamilanku yang pertama seharusnya kau sambut dengan suka cita, ternyata kau malah menduakan cinta kita .”

Romy tetap bersikeras tidak mengakui perbuatannya, dia tetap membela diri dan berlagak manis di depanku seakan tak pernah terjadi apa-apa dengannya. Walau tidak sepenuhnya aku mencintainya, aku tetap setia sebagai seorang istri, aku harus tetap mempertahankan biduk rumah tanggaku, bukannya aku wanita lemah, yang selalu pasrah, nerima ing pandum, karena menurut ajaran agama yang ku yakini, wanita yang baik, yaitu wanita yang bisa menjaga amanah, bisa menjaga kehormatan diri dan keluarga. Meski terasa berat, aku harus tegar mengahadapi kenyataan ini, karena aku terikat janji di hadapan penghulu yang sekaligus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan nanti. Dan aku sadar inilah takdirku.

Dua belas tahun sudah usia perkawinanku dengan Romy kulewati, dengan suka dan duka. Memang secara materi segala kebutuhanku terpenuhi, tapi batinku tetap belum menerima seutuhnya, apa lagi kalau ingat atas penghianatannya, walaupun sekarang dia sudah insyaf berusaha jadi suami yang baik.

Pada akhir-akhir ini Arman sering menghubungiku entah melalui telphon atau datang langsung ke tempat kerjaku, sebagai istri yang baik aku sudah berusaha melupakannya dan berharap untuk tidak ketemu lagi. Namun Arman masih mengharap hubungan cinta kami bisa terajut kembali walaupun sudah sama-sama berkeluarga, suatu hal yang tak mungkin, tabu menurut ajaran agama yang aku anut, karena masing – masing kami punya dinding pemisah yang tak boleh diterjang.

Secara manusiawi aku tak bisa membohongi diriku, hatiku masih mengharap kehadirannya, tetapi secara norma baik agama maupun adat itu merupakan pelanggaran berat, bahkan dosa besar.
Terkadang aku juga berhayal, andai aku bisa memutar kembali waktu yang telah berlalu untuk kembali menyatu bersamanya .

“Yah..suatu harapan yang tak mungkin terwujud.”

Aku seorang ibu yang selalu gelisah, seorang wanita yang terampas masa indah remajanya karena perkawinan dini yang tak sepenuhnya dikehendaki, dan sekarang aku dihadapkan dengan dua pilihan yang susah untuk menentukannya. Haruskah aku belajar mencintai Romy sepenuhnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya walau dengan hati terpaksa, atau aku harus belajar melupakan Arman yang dulu pernah merenda kasih bersamaku mengukir manisnya cinta?

Yang slalu mengharap bantuan jawaban anda
Dinda




Mar’s Hayrusd
Kisah Nyata , nama pelaku dan tempat kejadian disamarkan.

Baca juga tulisan-tulisan dari Mars Hayrusd yang lainnya: Cerpen "Sepenggal Cinta Di Hati Elang", Cerpen "Hujan Di Mata Shinta" dan puisi puisi Mars Hayrusd.

Post a Comment